jam

Sekarang Menunjukkan Jam


Selasa, 26 Februari 2013

Fidhah : Berbicara dengan Ayat Al-Qur’an

Fidhah : Berbicara dengan Ayat Al-Qur’an 

Ia hafal Al-Qur’an dan selalu berbicara menggunakan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
www.majalah-alkisah.com 


Namanya dalam sejarah Islam memang tidak banyak disebut. Maklum ia hanyalah pembantu (kha­­dam) Sayyidah Fathimah Az-Zahra, putri bungsu Baginda Nabi Muhammad SAW.
Sebagai pembantu keluarga kekasih Allah SWT, sudah barang tentu ia ba­nyak menyerap pengalaman-pengalam­an ruhani yang berbeda dengan peme­luk Islam lainnya, setidaknya dalam pengamalan Islam dalam kehidupan se­hari-hari.
Apalagi, waktunya tidak sebentar da­lam mengabdikan dirinya kepada Fathi­mah dan suaminya, Ali bin Abi Thalib. Maka, tak mengherankan bila kemudian Fidhah juga memiliki sikap dan kebiasa­an yang sesuai dengan tuntunan agama Islam.
Namun yang paling berkesan dalam tindak-tanduknya sehari-hari adalah ber­bicara tidak secara langsung melainkan dengan menggunakan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Kisah berikut adalah perbincangan an­tara Fidhah dan seorang sahabat da­lam suatu perjalanan panjang dari desa­nya di sekitar Madinah menuju Makkah Al-Mukarramah. Perjalanan di tengah padang pasir yang kering kerontang itu dilakukannya dengan berjalan kaki seorang diri. Ini semata karena niatnya yang kuat untuk berhaji.
Melihat seorang wanita berjalan sen­dirian di tengah padang pasir, sahabat itu penasaran dan tak kuasa menahan keinginan hatinya untuk bertanya. Sam­bil menghentikan untanya di samping wanita itu, sahabat itu bertanya, “Maaf, siapakah Anda?”
Ternyata jawaban wanita tersebut mem­buatnya berdecak kagum. “Dan kata­kanlah salam. Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk).”
Untuk menjawabnya, ternyata wanita itu menyitir ayat Al-Qur’an. Sesuatu yang belum pernah ia jumpai.
Dari ayat tersebut, ia ingin mengata­kan, pertama-tama kalau bertemu de­ngan seseorang hendaklah mengucap­kan salam, baru kemudian bertanya. Ka­rena memberikan salam merupakan tan­da dan kewajiban bahwa kita ini orang Islam.
Maka, sahabat itu pun mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaikum.” Setelah itu barulah ia bertanya, “Apa yang Anda ker­jakan di padang pasir yang panas dan kering kerontang ini seorang diri?”
Wanita itu menjawab, “Dan barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, ti­dak seorang pun yang dapat menyesat­kannya.”
“Oh, rupanya ia tersesat,” si sahabat berguman. “Namun ia punya keyakinan kuat bahwa Allah SWT selalu membim­bingnya dan memberikan jalan keluar.”
“Anda hendak menuju ke mana de­ngan pakaian seperti ini?” tanya si sa­habat lagi yang melihat pakaian wanita itu sudah lusuh dan berdebu.
“Hai anak Adam, pakailah pakaian­mu yang paling indah di setiap (mema­suki) masjid,” jawabnya.
“Oh, rupanya ia hendak menuju suatu masjid.”
“Dari mana Anda datang?”
“Mereka itu adalah (seperti) orang orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”
Sahabat itu maklum, rupanya wanita itu datang dari tempat yang jauh.
Lantas ia bertanya lagi, “Anda mau pergi ke suatu tempat persisnya di mana?”
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang- orang yang sanggup.”
Jawaban itu menjadi jelas bagi si sa­habat bahwa wanita yang ditemuinya ini hendak ke Baitullah di Makkah.
Lalu ia bertanya lagi, “Sudah berapa lama Anda berjalan?”
“Dan sesungguhnya telah Kami cipta­kan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa.”
Si sahabat paham bahwa wanita itu telah menempuh perjalanan selama enam masa, yang dia artikan enam hari.
“Anda sudah makan?” tanyanya lagi.
“Dan tidaklah Kami jadikan mereka tu­buh-tubuh yang tiada makan ma­kan­an.”
Rupanya wanita itu belum makan se­lama beberapa hari.
“Kalau begitu, maukah Anda saya antar ke kafilah Anda?”
Wanita itu menjawab, “Allah tidak mem­bebani seseorang melainkan se­suai dengan kesanggupannya.”
Ayat tersebut menyiratkan bahwa ia tidak sanggup berjalan cepat dan tidak memiliki kekuatan lagi untuk berjalan me­nuju Baitullah. Maka, tergerak hati si sahabat untuk membantunya berjalan. “Naiklah ke untaku agar dapat sampai ke tujuan.”
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah ke­duanya itu telah rusak binasa,” jawab­nya.
Si sahabat menyadari maksud ja­waban itu, yaitu bahwa si wanita itu menolak duduk berdampingan antara lelaki dan perempuan, karena itu ia se­gera turun dari punggung untanya dan mempersilakan wanita itu duduk di punggung untanya. “Duduklah di sana,” katanya.
Setelah unta itu berjalan, wanita itu berkata, “Mahasuci Tuhan, Yang telah menundukkan  semua ini bagi kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya.”

Memberi Imbalan
Setelah berjalan beberapa lama, me­reka bertemu satu rombongan kafilah.
“Apakah ada yang Anda kenal dalam kafilah itu?” tanya si sahabat kepada wanita itu.
Ia pun menjawab, “Muhammad tidak lain seorang rasul.” Lantas dilanjutkan, “Hai Yahya, ambillah alkitab itu dengan sungguh-sungguh.” Juga, “Hai Musa, sesungguhnya akulah Allah.” Kemudian, “Hai Daud, sesungguhnya Kami men­jadikan kamu khalifah di muka bumi.”
Si sahabat menafsirkan bahwa di dalam rombongan itu ada kenalannya yang bernama Muhammad, Yahya, Musa, dan Daud. Lalu dipanggillah nama-nama itu.
Empat pemuda mendekat, wanita itu berkata kepada mereka, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.”
Si sahabat sadar bahwa keempat pemuda itu adalah anak-anaknya.
Kepada keempat anaknya itu wanita itu berkata, “Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Si sahabat menyadari bahwa wanita itu mengharapkan agar anak-anaknya memberi imbalan kepada dirinya karena telah mengantarkan ibunya.
Lantas keempat pemuda itu menge­luarkan uang dan memberikan kepada si sahabat.
Si ibu berkata, “Allah melipat ganda­kan (ganjaran) bagi siapa yang dikehen­daki-Nya.”
Si sahabat merasa bahwa si ibu ber­kata kepada anak-anaknya, “Tambah­lah imbalannya.”
Si sahabat kemudian bertanya ke­pada keempat pemuda tersebut, “Siapa­kah se­sungguhnya ibu kalian ini? Terus terang, belum per­nah aku melihat wanita seperti dia.”
“Beliau adalah Fidhah, pembantu Sayyidah Fathimah Az-Zahra yang se­lama 20 tahun tidak bicara melainkan dengan menyitir ayat-ayat suci Al-Qur’an,” jawab salah seorang di antara mereka.
Si sahabat tidak menutupi kekagum­annya dan berucap, “Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.”

Sumber: http://www.majalah-alkisah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar