Fidhah : Berbicara dengan Ayat Al-Qur’an
Ia hafal Al-Qur’an dan selalu berbicara menggunakan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Namanya dalam sejarah Islam memang tidak banyak disebut. Maklum ia
hanyalah pembantu (khadam) Sayyidah Fathimah Az-Zahra, putri bungsu
Baginda Nabi Muhammad SAW.
Sebagai pembantu keluarga kekasih Allah SWT, sudah barang tentu ia
banyak menyerap pengalaman-pengalaman ruhani yang berbeda dengan
pemeluk Islam lainnya, setidaknya dalam pengamalan Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
Apalagi, waktunya tidak sebentar dalam mengabdikan dirinya kepada
Fathimah dan suaminya, Ali bin Abi Thalib. Maka, tak mengherankan bila
kemudian Fidhah juga memiliki sikap dan kebiasaan yang sesuai dengan
tuntunan agama Islam.
Namun yang paling berkesan dalam tindak-tanduknya sehari-hari adalah
berbicara tidak secara langsung melainkan dengan menggunakan ayat-ayat
suci Al-Qur’an.
Kisah berikut adalah perbincangan antara Fidhah dan seorang sahabat
dalam suatu perjalanan panjang dari desanya di sekitar Madinah menuju
Makkah Al-Mukarramah. Perjalanan di tengah padang pasir yang kering
kerontang itu dilakukannya dengan berjalan kaki seorang diri. Ini semata
karena niatnya yang kuat untuk berhaji.
Melihat seorang wanita berjalan sendirian di tengah padang pasir,
sahabat itu penasaran dan tak kuasa menahan keinginan hatinya untuk
bertanya. Sambil menghentikan untanya di samping wanita itu, sahabat
itu bertanya, “Maaf, siapakah Anda?”
Ternyata jawaban wanita tersebut membuatnya berdecak kagum. “Dan
katakanlah salam. Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang
buruk).”
Untuk menjawabnya, ternyata wanita itu menyitir ayat Al-Qur’an. Sesuatu yang belum pernah ia jumpai.
Dari ayat tersebut, ia ingin mengatakan, pertama-tama kalau bertemu
dengan seseorang hendaklah mengucapkan salam, baru kemudian bertanya.
Karena memberikan salam merupakan tanda dan kewajiban bahwa kita ini
orang Islam.
Maka, sahabat itu pun mengucapkan salam, “Assalamu ‘alaikum.” Setelah
itu barulah ia bertanya, “Apa yang Anda kerjakan di padang pasir yang
panas dan kering kerontang ini seorang diri?”
Wanita itu menjawab, “Dan barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya.”
“Oh, rupanya ia tersesat,” si sahabat berguman. “Namun ia punya
keyakinan kuat bahwa Allah SWT selalu membimbingnya dan memberikan
jalan keluar.”
“Anda hendak menuju ke mana dengan pakaian seperti ini?” tanya si
sahabat lagi yang melihat pakaian wanita itu sudah lusuh dan berdebu.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang paling indah di setiap (memasuki) masjid,” jawabnya.
“Oh, rupanya ia hendak menuju suatu masjid.”
“Dari mana Anda datang?”
“Mereka itu adalah (seperti) orang orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”
Sahabat itu maklum, rupanya wanita itu datang dari tempat yang jauh.
Lantas ia bertanya lagi, “Anda mau pergi ke suatu tempat persisnya di mana?”
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang- orang yang sanggup.”
Jawaban itu menjadi jelas bagi si sahabat bahwa wanita yang ditemuinya ini hendak ke Baitullah di Makkah.
Lalu ia bertanya lagi, “Sudah berapa lama Anda berjalan?”
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa.”
Si sahabat paham bahwa wanita itu telah menempuh perjalanan selama enam masa, yang dia artikan enam hari.
“Anda sudah makan?” tanyanya lagi.
“Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada makan makanan.”
Rupanya wanita itu belum makan selama beberapa hari.
“Kalau begitu, maukah Anda saya antar ke kafilah Anda?”
Wanita itu menjawab, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Ayat tersebut menyiratkan bahwa ia tidak sanggup berjalan cepat dan
tidak memiliki kekuatan lagi untuk berjalan menuju Baitullah. Maka,
tergerak hati si sahabat untuk membantunya berjalan. “Naiklah ke untaku
agar dapat sampai ke tujuan.”
“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa,” jawabnya.
Si sahabat menyadari maksud jawaban itu, yaitu bahwa si wanita itu
menolak duduk berdampingan antara lelaki dan perempuan, karena itu ia
segera turun dari punggung untanya dan mempersilakan wanita itu duduk
di punggung untanya. “Duduklah di sana,” katanya.
Setelah unta itu berjalan, wanita itu berkata, “Mahasuci Tuhan, Yang
telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal sebelumnya kami tidak
mampu menguasainya.”
Memberi Imbalan
Setelah berjalan beberapa lama, mereka bertemu satu rombongan kafilah.
“Apakah ada yang Anda kenal dalam kafilah itu?” tanya si sahabat kepada wanita itu.
Ia pun menjawab, “Muhammad tidak lain seorang rasul.” Lantas
dilanjutkan, “Hai Yahya, ambillah alkitab itu dengan sungguh-sungguh.”
Juga, “Hai Musa, sesungguhnya akulah Allah.” Kemudian, “Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi.”
Si sahabat menafsirkan bahwa di dalam rombongan itu ada kenalannya
yang bernama Muhammad, Yahya, Musa, dan Daud. Lalu dipanggillah
nama-nama itu.
Empat pemuda mendekat, wanita itu berkata kepada mereka, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.”
Si sahabat sadar bahwa keempat pemuda itu adalah anak-anaknya.
Kepada keempat anaknya itu wanita itu berkata, “Wahai bapakku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah
orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Si sahabat menyadari bahwa wanita itu mengharapkan agar anak-anaknya
memberi imbalan kepada dirinya karena telah mengantarkan ibunya.
Lantas keempat pemuda itu mengeluarkan uang dan memberikan kepada si sahabat.
Si ibu berkata, “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”
Si sahabat merasa bahwa si ibu berkata kepada anak-anaknya, “Tambahlah imbalannya.”
Si sahabat kemudian bertanya kepada keempat pemuda tersebut,
“Siapakah sesungguhnya ibu kalian ini? Terus terang, belum pernah aku
melihat wanita seperti dia.”
“Beliau adalah Fidhah, pembantu Sayyidah Fathimah Az-Zahra yang
selama 20 tahun tidak bicara melainkan dengan menyitir ayat-ayat suci
Al-Qur’an,” jawab salah seorang di antara mereka.
Si sahabat tidak menutupi kekagumannya dan berucap, “Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.”
Sumber: http://www.majalah-alkisah.com